Minggu, 24/02/2008 10:50 WIB
Lautze 2 'Mengusung' Warna Merah
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Melihat dari arsitektur luarnya, bangunan dengan dominasi warna merah ini tak terlihat seperti masjid. Nuansa etnis negeri bambunya lebih terasa ketika tahu mesjid ini bernama Masjid Lautze 2.
Masjid Lautze 2 yang terletak di Jl. Tamblong No. 27 Bandung ini, merupakan cabang kedua masjid Lautze di Jl. Lautze, Pecinan Jakarta yang didirikan 9 April 1991. Mulai dirintis pada pertengahan Ramadhan di Desember tahun 1996. Sedangkan untuk aktivitasnya dimulai sejak tahun 1997. Namun sampai sekarang status kepemilikan mesjid Lautze 2 masih mengontrak pada pemerintah kota.
Masjid Lautze 2 yang dibangun diatas tanah seluas 56 meter persegi ini berada di bawah Yayasan Haji Karim Oei. Nama Karim Oei diambil dari nama seorang tokoh Islam keturunan Tionghoa yang akrab dengan Bung Karno, Bung Hatta dan tokoh-tokoh nasional lain saat itu.
Hal itu bisa dibuktikan dengan terpampangnya sebuah potret Karim Oei yang berdampingan dengan Bung Karno dan Bung Hatta di dinding masjid.
Masjid Lautze memiliki misi untuk menjadi pusat aktivitas muslim khususnya muslim tionghoa, menjadi pusat literatur Cina, khususnya yang berkaitan dengan Islam dan Muslim Tionghoa, menjadi pusat kebudayaan Tionghoa Muslim, menjadi sarana pembauran antara etnis Tionghoa dengan etnis pribumi dan menjadi pusat aktivitas pembinaan muallaf.
Menurut salah seorang pengurus masjid, Muhammad Sulthonuddin yang biasa disapa Aang atau Toni ini, mayoritas para jemaah Mesjid Lautze 2 mengakui bahwa aspirasi mereka sebagai seorang muslim kurang terwadahi oleh masjid-masjid sekitar tempat tinggal mereka. Perlakuan dan pandangan masyarakat terhadap keberadaan muslim Tionghoa belum sepenuhnya bisa diterima.
Kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan masjid Lautze tak berbeda dengan kegiatan masjid-masjid pada umumnya. Hanya ada spesifikasi khusus konsultasi dan informasi Islam untuk warga Tionghoa.
Walaupun dalam kenyataannya, masyarakat pribumi pun banyak yang beribadah di masjid ini. Terlebih ketika shalat Jumat, jemaah bisa pebuh hingga ke trotoar.
Jika masyarakat Tionghoa agak enggan untuk berkonsultasi dengan mubaligh pribumi. Setiap hari Minggu masjid Lautze menghadirkan mubaligh keturunan Tionghoa dalam pengajian dari pukul 10.00-13.00 WIB.
"Setiap harinya, kami pun menerima siapapun, etnis Tionghoa khususnya yang ingin berkonsultasi tentang Islam. Jemaah yang datang banyak yang dari daerah yang jauh, seperti dari Cimahi, Cileunyi dan lain-lain," jelas Aang.
Aang menilai, ketika para sunan menyebarkan syiar Islam melalui pendekatan budaya, itu pulalah yang dilakukan masjid Lautze. Warna kuning dan merah yang dianggap sebagai warna sakral etnis Tionghoa dijadikan sebagai media pendekatan dakwah.
Dengan pendekatan seperti itu diharapkan para muslim Tionghoa tidak enggan untuk duduk dan beribadah di masjid Lautze 2.
"Meskipun kebanyakan masjid-masjid memakai warna hijau sebagai sunah rasul, tapi kan tidak ada yang melarang juga menggunakan warna lain," tambah Aang.
(ema/ern)
Senin, 25/02/2008 08:26 WIB
Kukuruyuk Weekend, Wisata Belanja di Bandung Selatan
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Target pemerintah untuk menjadikan Bandung Kota wisata sepertinya disambut hangat oleh warga bandung, tak terkecuali pengusaha. Para pengusaha Bandung untuk berlomba-lomba membuka tempat hang out untuk menarik wisatawan baik lokal maupun domestik.
Keinginan untuk membuat sebuah tempat hang out di Bandung Selatan yang menjadi ide awal dibukanya tempat wisata belanja baru, Kukuruyuk Weekend Market.
"Bandung Utara kan sudah banyak, kini giliran Bandung Selatan," tutur general manager Kukuruyuk Weekend Market, Mulia.
Kukuruyuk, nama yang unik hingga ketika mendengarnya mungkin akan langsung menarik anda untuk datang. Berada di kawasan komplek Mekar Wangi, Kukuruyuk Weekend Market didirikan di atas tanah seluar 2,5 hektar.
Jika bosan dengan suasana mall, Kukuruyuk akan memberikan nuansa yang berbeda. Suasana open airnya berikut penataan yang lebih cenderung tradisional, akan membawa pada atmosfer belanja yang tak biasa.
Ketika memasuki area ini, di sisi kiri anda akan langsung di sambut oleh permainan balonku di sayap kiri. Masuk lebih dalam sebuah rangkaian bambu yang mirip instalasi bambu berdiri.
Jika dialirkan air melalui alat-alat yang terpasang di beberapa titik bambu, akan menghasilkan suara musik. Bangunan ini dinamakan alun-alun bambu.
Sebanyak 200 stand berderet secara berkelompok sesuai dengan jenis dagangannya. Sebut saja art & craft, fesyen, aksesoris, furniture, permainan anak-anak dan lain-lain.
Pengisi stand mayoritas dari kelompok Usaha Kecil dan Menengah (KUKM). Pemilihan pengisi stand pun cukup selektif, selain harus unik juga harga yang relatif terjangkau.
Untuk kuliner, disediakan area food court terpisah yang luas. Menyediakan sekitar 60 pilihan stand yang menyediakan makanan nasinal dan internasional.
Sarana rekreasi untuk anak-anak, seperti area berkuda, balonku, flying fox 80 meter, tapolin modern dan lain-lain.
Untuk yang tradisional, permainan rakyat dari Komunitas HONG akan akan mengajak anda pada masa kecil dulu. Display permainan rakyat berikut workshopnya akan memberikan menjadi pengisi waktu yang cukup menyenangkan.
Setiap akhir pekan, terselip acara untuk memeriahkan suasana market. Untuk Minggu ini misalnya, aeroshow layang-layang cukup membuat para pengunjung terpukau.
Acara lain, nyanyian dari anak-anak jalanan asuhan almarhum Harry Rusli yang akan berkeliling dari stand ke stand. Selain itu, anak jalanan tersebut akan memberikan demo pembuatan kertas daur ulang kepada pengunjung.
Karena konsep Kukuruyuk tradisional, maka musik-musik yang dihadirkan pun bernuansa tradisional seperti musik dari bali, angklung, Kecapi dan lain-lain.
Tempat yang baru dibuka 22 Februari ini memiliki lokasi yang strategis. Terletak dalam kompleks Istana Mekar Wangi, dengan akses masuk dari Jl. Mochamad Toha (keluar di Tol M. Toha), Jl. Soekarno Hatta atau Jl. Cibaduyut.
(ema/ern)
Rabu, 27/02/2008 12:14 WIB
Rumentang Siang, Rumah Seni Minim Perawatan
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Seperti halnya gedung Asia Africa Culture Centre (AACC) yang bekas gedung bioskop Majestic, gedung kesenian ini bekas gedung bioskop Rivoli, Gedung Kesenian Rumentang Siang di Jalan Baranang Siang No 2, dekat Pasar Kosambi.
Pada masa itu, gedung kesenian yang baru ada adalah gedung Yayasan Pusat kebudayaan (YPK). Sebagai persembahan bagi para seniman, sebelum masa tugasnya berakhir, Gubernur Jawa Barat, Solihin GP membuatkan gedung kesenian Rumentang Siang di tahun 1975.
"Gedung Rumentang Siang merupakan peninggalan dari gubernur Solihin GP untuk para seniman," jelas pengelola GK. Rumentang Siang, Cece Raksa, yang sudah ikut mengelola sejak gedung ini berdiri.
Sebelum nama Rumentang Siang ditetapkan, nama Kandaga Bandung sempat dilontarkan oleh Walikota Bandung saat itu, Oce Djunjunan.
Penyair, Wahyu Wibisana lah yang mengajukan nama Rumentang Siang. Dalam bahasa Sunda, Rumentang diambil dari kata rentang-rentang yaitu samar-samar terlihat dari kejauhan untuk mendekat, sedangkan siang berarti nyata.
Secara keseluruhan, Rumentang Siang bisa diartikan ketika berbagai seniman dengan beragam kesenian dari berbagai daerah yang jauh masih samar-samar, tidak terlihat. Namun ketika ada GK. Rumentang Siang, keberadaan mereka akan lebih nyata.
Sebagai salah satu bangunan bersejarah peninggalan Belanda, pembangunan GK. Rumentang Siang tak merubah struktur bangunan. Hanya interior ruangan yang mengalami perubahan untuk dibangun sebuah panggung dan kamar rias.
Sejak pendiriannya hingga tahun 1982, berbagai kesenian unggulan daerah di gelar di tempat ini. Tak hanya itu, sampai tahun 2000, kerjasama kebudayaan dengan beberapa negara dijalin. Misalnya dengan Japan Foundation, British Council juga kedutaan besar Australia.
Namun, alasan tak ada biaya serta kemunduran kondisi gedung membuat kerjasama itu tak lagi dilakukan. Sarana prasarana seperti kursi, sound system dan light sistem tak cukup memadai.
"Kami tidak mungkin melakukan kerjasama dengan kondisi gedung yang sudah kurang bagus. Hingga kami harus berpikir 2 sampai 3 kali untuk melakukan itu. Lagipula tidak ada biaya, minimal untuk biaya produksi," tutur Cece.
Rumentang Siang berkapasitas 347 orang penonton. Dengan luas panggung 8 x 12 meter, sebenarnya kurang memenuhi syarat panggung sebuah pertunjukan. Diperlukan kedalaman panggung yang lebih dalam.
Cece mengaku, hingga sekitar pertengahan tahun 2003, Rumentang Siang masih mendapat kucuran dana dari pemerintah provinsi. Kini, pengelolaan Rumentang Siang tidak mendapatkan perhatian optimal dari pemerintah.
Untuk fisik bangunan, pengelolaan Rumentang Siang berada di bawah PT. Jasa Wisata, sementara untuk program dibawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung.
Antara tahun 2004-2005, Disbudpar pernah melakukan ronovasi panggung juga toilet. Namun, dari pihak Disbudpar sendiri mengakui bahwa secara administratif, GK. Rumentang Siang tidak di bawah Disbudpar, tapi di bawah PT. Jawi. Sehingga untuk pengelolaan fisik merupakan tanggung jawab PT. Jawi.
Cece mengharapkan akan dikeluarkannya Perda yang mengatur tanggung jawab pengelolaan fisik gedung. Di mana bukan lagi PT. Jawi yang bertanggung jawab, melainkan Disbudpar.
Saat ini hampir tidak ada biaya perawatan gedung. Untuk operasionalisasi lebih banyak mengandalkan dari hasil penjualan tiket petunjukan. Padahal, untuk satu bulan diperlukan anggaran sekitar Rp 8 juta, termasuk untuk honor karyawan.
"Delapan juta itu angka yang sudah sangat nge-pas," ujar Cece.
Setiap hari, GK. Rumentang Siang tak pernah sepi. Sebagai tempat latihan, baik tari atau teater maupun tempat berkumpulnya para seniman Bandung.
Agenda-agenda pertunjukan senantiasa menghangatkan GK sudah sekitar 80 tahun berdiri. Walaupun tak lagi sepadat masa-masa sebelumnya.
Seperti halnya 11 Februari hingga 1 Maret 2008 ini, sebuah festival tahunan kembali digelar, Festival Drama Basa Sunda (FDBS) oleh Teater Sunda Kiwari.(ema/ern)
Kamis, 10/04/2008 09:50 WIB
Mengintip Bintang di Observatorium Bosscha
Jana Silniodi - detikBandung
Bandung - Kegelapan langit malam bagi sebagian orang memberikan ketakutan, namun di tempat wisata ini kegelapan malam sangat diharapkan. Observatorium Bosscha dapat menjadi alternatif tempat wisata di Lembang yang menawarkan paket wisata pendidikan astronomi. Namun bukan berarti tempat ini hanya dibuka di malam hari, karena tak hanya bisa mengintip benda-benda di langit, suasana alam dan bangunan tempo dulu yang sarat akan sejarah jadi objek lain yang jangan dilewatkan.
Bosscha dibangun 1 Januari 1923 oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa Karel Albert Rudolf (K.A.R) Bosscha yaitu seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar yang menyandang dana utama dalam pembangunan observatorium, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini.
Pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI. Setelah Institut Teknologi Bandung (ITB) berdiri pada tahun 1959, Observatorium Bosscha menjadi bagian dari ITB. Selanjutnya, tempat ini difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia. Obeservatorium Bosscha merupakan satu-satunya observatorium di Asia Tenggara yang mengamati belahan Bumi selatan.
Dalam kapasitasnya sebagai tempat tujuan wisata, Observatorium Bosscha memberikan pendidikan dan pengetahuan astronomi bagi pelajar maupun masyarakat. Jika berniat datang ke tempat ini pada siang hari terdapat tiga sesi kunjungan yaitu pada jam 09.00 WIB, 12.00 WIB, dan 15.00 WIB yang buka setiap hari. Kunjungan pada malam hari dimulai dari pukul 17.00 WIB hingga 20.00 WIB dan hanya dilakukan selama tiga hari per bulannya, penentuan waktu ditentukan oleh pihak pengelola berdasarkan kondisi cuaca.
"Pelajar yang datang ke sini berasal dari semua kalangan, dimulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Ada dua sesi yang dilakukan saat berkegiatan di Bosscha, pertama penjelasan mengenai benda-benda langit atau pengetahuan astronomi kemudian dilanjutkan dengan penjelasan pengamatan di ruang peneropongan" ujar astronom ITB, Mochamad Irfan.
Tarif masuk yang dikenakan pada pengunjung yaitu sebesar Rp 3000 untuk pelajar dan Rp 5000 untuk umum. Jika memakai kendaraan pribadi atau travel, untuk mencapai Observatorium Bosscha dari pusat kota Bandung menuju ke arah Lembang dapat ditempuh selama 30 menit. Bagi yang memakai kendaraan umum, dari pusat kota Bandung ke arah terminal ledeng dilanjutkan dengan angkutan St.Hall-Lembang atau Ledeng-Subang. Di jalan raya Bandung-Lembang sebelum pertigaan arah Cisarua, berbelok ke kanan menaiki bukit yang menjadi lokasi observatorium. Untuk pengunjung yang memakai kendaraan bus atau kendaraan umum, dari tempat ini dapat memilih memakai jasa angkutan ojeg atau berjalan kaki sekitar 4 km.
Observatorium Bosscha berada di daerah Lembang yang memiliki ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Tak heran tempat ini memiliki suhu udara yang cukup menusuk tulang di malam hari. Selain itu, alasan pemilihan daerah Lembang sebagai tempat pembangunan observatorium ini karena kondisi geologinya yang stabil serta di daerah ini pada masa lalu masih jarang terdapat permukiman penduduk dan kawasan sekitarnya masih berupa lahan yang ditumbuhi pepohonan.
"Seharusnya permukiman yang dibangun di sekeliling observatorium harus berada di area sekitar dua hingga lima kilometer, dengan semakin padatnya permukiman di sekeliling tempat ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap penurunan aktifitas penelitian dan pengamatan," papar Mochamad Irfan.
(ema/ema)
Rabu, 09/07/2008 11:56 WIB
Gedung Jiwasraya, Dari Asuransi Sampai Tempat Syuting
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Unsur-unsur estetis yang terdapat pada bangunan-bangunan bersejarah karya arsitektur Belanda sepertinya menjadi sasaran empuk para produser dunia hiburan. Selain Gedung Sate atau Jalan Braga, gedung yang sekarang digunakan sebagai kantor asuransi pun tak ketinggalan menjadi lokasi syuting.
Gedung Jiwasraya, terletak di Jalan Asia Afrika No 53, Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung, berhadapan dengan bagian pinggir Mesjid Raya Bandung. Dibangun pada tahun 1859 di atas tanah seluas 3.289 meter persegi dengan laus bangunan 1.996 meter persegi.
Bangunan ini karya sebuah biro arsitektur Belanda yang nama arsiteknya belum diketahui. Gedung ini dibangun oleh perusahaan asuransi jiwa milik Belanda, Nederlanche Indische Levens Verzekiring En Lijfren Maatcaappij (NILLNY). Perusahaan ini merupakan perusahaan asuransi jiwa pertama di Indonesia.
Gaya arsitektur dengan ornamen khas neo klasik art deco lah yang mungkin membuat diva Indonesia, Melly Goeslaw tertarik untuk menjadikan tempat ini bagian dari film gubahannya, Butterfly yang dirilis beberapa waktu lalu.
"Ya, gedung ini pernah menjadi tempat syuting film Butterfly. Ke depan juga akan dipakai syuting iklan," jelas Bagian Umum Jiwasraya, Hendra tanpa menyebutkan produsen iklan yang akan menggunakan gedung ini untuk syuting.
Wajar kiranya jika tempat ini dijadikan frame untuk sebuah film. Kelangkaan dan keunikannya sudah tampak dari luar gedung. Ketika masuk ke dalam, gaya khas bangunan belanda dengan langit-langit yang tinggi serta tembok-tembok tebal kokoh bercat krem makin menguatkan nuansa kolonialnya.
Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Di bagian tangga, setting film Butterfly diambil. Gedung ini terdiri dari bagian depan dan belakang. Sebuah lorong menghubungkan dua bagian ini di lantai bawah. Ada beberapa bagian bangunan belakang gedung yang kelihatannya tidak terlalu dirawat. Terlihat ada bagian langit-langitnya yang terkelupas atau dinding-dinding dengan warna memudar.
Menurut Hendra, pihak Jiwasraya sampai saat ini tak pernah mengubah bagian-bagian gedung karena tidak diperbolehkan pemerintah sebagai gedung bersejarah. "Paling kami melakukan pengecatan, itupun masih disesuaikan dengan cat sebelumnya," ujar Hendra.
Kekuatan unsur sejarahnya diperkuat pula dengan berdirinya sebuah stilasi dari 10 stilasi rekaman sejarah Bandung Lautan Api yang berada di depan bangunan.
(ema/ern)
Selasa, 15/07/2008 08:44 WIB
Sekolah Bergengsi di Bangunan Cagar Budaya
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Mendengar nama SMU 3 dan SMU 5 ingatan langsung tertuju pada dua sekolah favorit yang terletak di Jalan Belitung No 8. Berada di antara Jalan Bali dan Jalan Kalimantan, sekolah ini menduduki sebuah bangunan bersejarah peninggalan zaman kolonial.
Sekolah yang pernah menjadi tempat menimba ilmu Sri Sultan Hamengkubuwono IX di masa Hindia Belanda ini, sebelumnya dinamakan Hoorege Burgerschool (HBS). Dibangun pada tahun 1916 oleh pemerintah Hindia Belanda yang dirancang oleh arsitek C.P Schoemaker.
Dibangun di atas tanah seluas 14.240 meter persegi dengan luas bangunan 8.220 meter persegi. Dari tahun ke tahun, fungsi bangunan terus mengalami peralihan. Dimulai sebagai HBS di tahun 1916-1942, jadi markas tentara Jepang di tahun 1942-1945. Sedangkan tahun 1947-1952 disebut jaman peralihan, direntang tahun ini berfungsi sebagai sekolah VHO (Voortgezet Hoger Onderwys) dan SMA Negeri 1.
Dari tahun 1952 ditempati oleh empat sekolah yaitu SMA 2, SMA 5, SMA 3 dan SMA 6. Tahun 1961 SMA 2 pindah ke Jalan Cihampelas sedangkan SMA 6 ke Jalan Pasirkaliki. Maka sejak tahun 1966, gedung ini ditempati dua sekolah sampai sekarang yaitu SMA 3 dan SMA 5 dibawah pengelolaan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
Sebelah barat bangunan ditempati oleh SMA 3 sedangkan sebelah timur ditempati SMA 5. Kedua sekolah ini dipisahkan oleh koridor yang bisa menjadi jalur penghubung antara SMA 3 dan SMA 5.
Di kedua sayap bisa ditemukan lemari kaca dengan deretan piala-piala di dalamnya. Memang, sejak dulu kedua SMA ini dikenal sebagai SMA yang mencetak siswa-siswi berprestasi sehingga wajar menjadi sekolah unggulan yang jadi target siswa-siswi SMP untuk melanjutkan sekolah.
Dua tangga besar di kiri dan kanan koridor menghubungkan lantai bawah dan atas, menyambung menjadi satu tangga menuju sebuah ruangan luas di lantai dua. Ruangan ini serupa aula terbuka yang digunakan oleh dua sekolah secara bergiliran.
Dinding-dinding tebal dengan tinggi sekitar 6-7 meter memperlihatkan kekhasan bangunan peninggalan Hindia Belanda. Jendela-jendela dan pintu berventilasi berderet menjadi ciri khas bangunan ini. Jejak kaki pun berpijak pada keramik-keramik klasik bernuansa gelap paduan abu-abu, kuning, merah dan hitam.
Tak banyak perubahan di bangunan ini. Apalagi untuk bangunan bagian depan tidak boleh dirubah sama sekali.
Seperti dituturkan Wakasek Humas dan Rencana Pembangunan SMA 5 Yenny Gantini. Menurutnya sebagai bangunan yang termasuk cagar budaya, bangunan SMA 5 dan SMA 3 harus dilestarikan.
"Guru-guru dengan warga sekolah lainnya bersatu sama-sama mendukung agar menegakan 6 K, kebersihan, keindahan, kemananan, kekeluargaan dan lain-lain," jelas Yenni.
Menurut Yenni, ada 13 ruangan dari 30 ruangan di SMA 5 yang termasuk bagian bangunan bersejarah yaitu 10 ruang kelas, 1 ruang perpustakaan, 1 ruang BP dan 1 ruang audio visual.
Wakasek Sarana Prasarana SMA 5, Suhendri menyatakan bangunan SMA 5 sendiri luasnya 7.120 meter persegi. Di tahun 2008-2009 pihak skeolah melakukan perawatan dan pemeliharaan berupa pengecatan, penggantian talang bocor tanpa merubah ketentuan konservasi cagar budaya.
"Untuk bagian luar tidak boleh dirubah sama sekali termasuk warna catnya, sedangkan bagian dalam warna cat boleh beda," jelasnya. Sebelum melakukan perubahan, pihak sekolah berkonsultasi dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Bandung Heritage.
Suhendri mengungkapkan, saat ini pihak SMA 5 sedang mengajukan untuk mengganti lantai sebab ada bagian-bagian lantai yang bergelombang. Namun menurut Hendri, pihak sekolah masih menunggu keputusan pihak pemerintah mengenai pengajuan tersebut.
Untuk setiap perubahan yang akan dilakukan, sambung Suhendri, pihak SMA 5 selalu bekerjasama dengan pihak SMA 3.
(Ema/dari berbagai sumber)
(ema/ern)
Jumat, 25/07/2008 08:26 WIB
Bangunan Kolonial Yang Sulit Perawatan
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Eloknya bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial memang menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Bandung. Tapi merawat bangunan-bangunan yang masuk sebagai bangunan cagar budaya ini tidak mulus begitu saja. Beberapa perawatannya malah agak menyulitkan pengelola gedung saat ini.
Misalnya bangunan Kantor Pos Besar Bandung yang terletak di Jalan Asia Afrika No.49 dan Jalan Banceuy. sekitar tahun 1972-1974 kantor ini berfungsi sebagai Kantor Pos dan Telegraf (posten telegraf kantoor). Pada tahun 1985 bangunan ini hanya digunakan oleh PT Pos.
Bangunan karya arsitek ternama J. Ven Gendt ini menggunakan atap metal atau plat baja yang tidak bisa ditemukan lagi saat ini. Bangunan beratap metal merupakan salah satu ciri umum pada bangunan yang terletak di sudut jalan, khususnya Kota Bandung.
"Saat atap rusak kami kesulitan cari bahan yang sama karena bahannya berasal dari plat baja," jelas Asep Sudiana, Staff Sarana Kantor Pos Besar Bandung.
Menurut Asep, tahun 2007 pihak PT Pos menyusun perubahan untuk atap agar diganti sirap tapi tidak diperbolehkan karena termasuk bangunan bersejarah. Akhirnya kami mencari alternatif atap lain yang mendekati plat baja.
"Namun hanya dalam waktu 2 sampai 3 bulan saja masih terlihat baru berbeda dengan atap lama yang bertahan sampai puluhan tahun," jelas Asep.
Selain atap tidak perubahan pada sisi heritagenya. Kalaupun ada perubahan-perubahan yang dilakukan PT Pos untuk menyesuaikan dengan kebutuhan operasional pelayanan publik. Misalnya perubahan lantai menjadi marmer pada bagian pelayanan di gedung induk bagian depan Kantor Pos Besar Bandung.
Menurut Asep bangunannya sendiri 98 persen masih bangunan lama. Penambahan bangunan di bagian belakang tetap menggunakan peninggalan bangunan lama hanya disesuaikan dengan kebutuhan.
"Yang tidak diperbolehkan adalah merubah ornamen-ornamennya. Untuk jendela masih sama seperti dulu," ujar Asep.
Bangunan bergaya art deco geometrik yang langka dan unik dibangun selama empat tahun dari 1928 sampai 1931. Dibangun di atas tanah seluas 6000 meter persegi dengan luas bangunan 4.846 meter persegi dan terdiri dari dua lantai.
Nilai-nilai arsitekturnya sudah tampak dari luar bangunan. Pada kiri dan kanan puncak atap terdapat hiasan hiasan. Langit-langit yang menjulang setinggi 11 meter memperlihatkan kemegahan sebuah masa. Potret Bandung tempo dulu yang masih bisa dinikmati dengan leluasa.(ema/afz)
Kamis, 14/08/2008 12:30 WIB
Pemandian Bekas None Belanda Yang Masih Eksis
Eva Asiah - detikBandung
Bandung - Kalau bicara Bandung memang tidak adanya matinya, selalu saja ada cerita di dalamnya yang sangat menarik untuk kita angkat.
Tempat-tempat peninggalan Belanda banyak yang masih berdiri kokoh samapai sekarang, bahkan manfaatnya pun tidak hilang.
Salah satu bangunan yang paling tua di Bandung ini, adalah kolam renang Tirtamerta atau lebih dikenal dengan Pemandian Centrum yang terletak di Jalan Belitung No 10, dekat SMA 3 Bandung.
Berdiri sekitar tahun 1920-an, dibangun dengan gaya arsitektur modern tropis Indonesia hasil rancangan arsitek ternama pada jamannya, yaitu C.P. Wolff Schoemaker. Pemandian ini dibangun di atas tanah seluas 3.200 m2 dengan luas bangunan 1.150 m2.
Menurut Ahamad Sukarmin selaku pengurus tempat pemandian ini, dulu pemandian ini dibangun khusus untuk orang-orang Belanda yang tinggal atau pun hanya singgah di kota ini.
"Pada tahun 1948-an, warga negara Belanda berangsur-angsur pulang ke negeri asalnya, akhirnya tempat ini dipindahtangankan kepada seorang warga negara Indonesia keturunan Thiong Hoa, bernama R Tjandraprawira," ujar Sukarmin.
Pada masa itu walaupun telah dimiliki oleh warga negara Indonesia, tetapi masih belum bisa dikomsumsi untuk publik.
Baru sekitar tahun 1960-an tempat pemandian ini dipergunakan untuk umum. Sebab pada waktu itu pelajaran renang sudah menjadi satu pelajaran wajib, oleh karenanya para guru membutuhkan kolam renang.
Setiap hari tempat pemandian ini buka dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore, kecuali hari selasa dan hari libur nasional. Kebanyakan pengunjung adalah dari anak-anak sekolah mulai dari SD, SMP, hingga SMA, sedangkan pengunjung umum sangat sedikit sekali.
Kolam renang ini juga pernah direnovasi, pada tahun 2000. Panjang kolam renang yang awalnya 30 meter menjadi 46 meter dengan lebar 21 meter dan kedalaman yang asalnya 3 meter menjadi 50-160 sentimeter.
Disisi kolam renang terdapat beberapa tempat ganti baju. Di sisi kiri khusus untuk wanita, dan disisi kanan khusus untuk pria.
Tersedia beberapa warung makan, tapi sayang tempat kurang terurus. Dilihat dengan persaingan di jaman sekarang, tempat ini masih sangat terlalu sederhana.
Tapi jika ingin menikmati pemandian tua di Bandung, mungkin tempat ini bisa menjadi alternatif, tinggal datang saja ke Jalan Belitung No 10.(ern/ern)
Kamis, 21/08/2008 11:29 WIB
Citarasa Kolonial Yang Terlupakan
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Braga Permai terkenal dengan pastry, coklat dan es krim resep turun temurun sejak berdiri tahun 1920. Namun ketika memasuki tempat ini, dari bangunannya sama sekali tak tercium aroma sejarah. Hanya tulisan bernada Belanda seperti chocolatier, pattisiers dan boulangers yang menegaskan, Belanda pernah di sini.
Di dalam ruangan tak ada ciri khas art deconya bangunan Belanda, atau dinding-dinding menjulang sebagai ciri khas lainnya. Lantai-lantai modern dengan langit-langit kayu menunjukan tempat ini sudah direnovasi.
Sebuah lukisan besar yang memperlihatkan bentuk lama dari bangunan ini seperti menjadi ciri bahwa tempat ini pernah menjadi saksi sejarah di jalanan Braga. Berawal dari nama Maison Bogerijen yang didirikan oleh orang Belanda, Bogerijen, kini populer dengan nama Braga Permai.
Potret lain memperlihatkan deretan orang-orang Hindia Belanda bersama para koki berfoto di depan tempat ini, memperlihatkan tulisan Maison Bogerijen.
Pada 11 Februari 1958 tempat ini diubah menjadi perusahaan nasional dengan nama PT Braga Permai. Pada tahun 1962 tempat direnovasi menjadi bangunan sekarang.
Menurut Bagian Umum Braga Permai, Ramlan (56) direnovasinya tempat ini karena dulu pada pemerintahan Presiden RI pertama Soekarno, presiden tidak menyukai bangunan yang mengarah pada ciri khas Belanda. Dalam lukisan bagian depan bangunan terlihat lebih membulat dengan atap sirap dan tulisan-tulisan besar di bagian pinggir.
"Sepertinya tidak ada lagi peninggalan bangunan zaman dulu yang tersisa. Ada juga oven peninggalan Belanda, itupun sudah tidak terpakai," jelas Ramlan.
Cafe berkapasitas 500 orang ini memiliki dua lantai. Namun menurut Ramlan bagian atas tidak lagi dipergunakan karena kurang perawatan seiring dengan berkurangnya pengunjung di tempat ini. "Pengunjung makin berkurang. Mungkin karena tidak ada tempat parkir yang memadai," tutur Ramlan.
Seperti halnya dengan tempat wisata yang biasa dikunjungi turis asing, tempat ini pun menjadi begitu sepi pengunjung selepas peristiwa bom Bali tahun 1998. Padahal Ramlan mengaku, pengunjung Braga Permai didominasi oleh turis asing. "Omzet pun sangat menurun," ujarnya.
"Paling kalaupun ada orang asing yang datang itu adalah orang Belanda dan Eropa yang menetap di Bandung," jelasnya. Menjamurnya tempat wisata kuliner di Bandung pun diakui Ramlan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sepinya pengunjung.
Meski sepi, sampai saat ini Braga Permai masih mempertahankan peninggalan kolonial dari menu-menu makanan yang disajikan. Menu-menu khas Belanda masih menjadi ciri yang menjadi daya tarik tempat ini. Selain menu-menu kontemporer lain bercitarasa western, oriental dan lokal.(ema/afz)
Sabtu, 23/08/2008 12:11 WIB
Sepenggal Cerita Babakan Siliwangi
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Papan nama usang berwarna biru muda yang pudar disertai warna karatan di beberapa bagian terpancang dengan tulisan Rumah Makan Babakan Siliwangi sedikit bersembunyi di balik dedaunan. Namun papan inilah yang menunjukan kawasan ini sebagai Babakan Siliwangi, paru-paru kota yang selalu menuai kontroversi.
Rumah makan ini berdiri di lahan yang disebut Lebak Siliwangi. Akibat kebakaran tahun 2003 lalu, yang tertinggal hanya reruntuhan.
Berada di persimpangan Jalan Cihampelas, Jalan Ciumbuleuit, dan Jalan Tamansari. Dari luar tak tampak seperti tempat wisata. Tukang tambal ban menyambut kedatangan kala memasuki kawasan ini. Kemudian kios kecil dengan baju-baju bergelantungan di tali jemuran.
Menuruni beberapa anak tangga atau tanah yang melandai sampai pulalah di Jalan besar yang menghubungkan Jalan Cihampelas dan Jalan Ganesha. Jalan yang diapit oleh rimbunnya pepohonan.
Dua galeri seni berdiri berdampingan. Di kedua galeri yaitu Mitra Art Center dan Sanggar Olah Seni (SOS) ini tampak beberapa orang tengah memulaskan warna di atas kanvas. Mungkin hanya dua galeri inilah yang masih memberikan identitas bahwa tempat ini sebuah kawasan wisata.
Menurut Ketua SOS, Syarif Hidayat asal mula nama Lebak Siliwangi adalah Lebak Gede. Walikota Bandung saat itu, Otje Djunjunan melihat kawasan Lebak Siliwangi potensial untuk dijadikan tempat wisata.
Maka pada tahun 1970-an dibuatlah rumah makan dengan nama Rumah Makan Babakan Siliwangi. Dari sana pula pemerintah Jawa Barat melihat wisata lainnya. Maka atas gagasan seniman Popo Iskandar, Barli, Tony Yusuf dan seniman lainnya Sanggar Seni SOS didirikan pada 1982. Peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pariwisata saat itu Jove Ave.
Kedua galeri ini menawarkan pembelajaran dan pembinaan akan seni, tak hanya seni rupa tapi juga teater, musik dan seni lainnya. Diciptakan sebagai ruang budaya antara seniman dan masyarakat.
Syarif menuturkan, setiap bulannya pada minggu pertama di tempat ini biasa diadakan seni adu domba. "Kalau dulu adu domba ini lebih sering dilakukan lagi," jelasnya.
Menyusuri jalanan hingga menembus Jalan Cihampelas, kawasan ini terlihat tidak begitu terawat. Kawasan yang secara geologi sebagai tempat resapan air ini tercatat sebagai salah satu kawasan terbuka hijau di Kota Bandung.
Pohon-pohon rimbun hijau hampir memenuhi keseluruhan wilayah. Dingin dan sejuk jika dibandingkan kawasan olahraga Sabuga yang berbatasan langsung dengan kawasan ini yang tampak panas, gersang dan berdebu. Namun di beberapa titik tampak tumpukan-tumpukan sampah di antara pepohonan yang juga tidak tertata. Reruntuhan bangunan yang tak lagi terjamah serta beberapa gubug kecil berdiri menjadi 'penghias' lain.
Untuk tempat seluas itu, hanya seorang perempuan bernama Eli yang dipercaya pemerintah untuk menjaga tempat ini. Dia mengaku menggantikan suaminya yang dulu menjaga tempat ini. "Saya menjaga agar tempat ini tidak digunakan oleh orang yang macam-macam," jelasnya.
Eli juga mengaku tidak ada yang menjaga datang untuk melakukan pemeliharaan lingkungan di tempat ini.
Menurut Pengelola Mitra Art, Herman R Suwarna yang memelihara lingkungan masih hanya orang-orang yang tinggal di kawasan ini termasuk para seniman. Herman mengusulkan penerpaan konsep eco wista di Babakan Siliwangi, misalnya dengan menata pohon dan memberikannya nama latin untuk menambah wawasan pengunjung.
Tahun 2001 lalu, penataan dan pengelolaan kawasan ini menjadi kawasan wisata terpadu dicetuskan Walikota Bandung saat itu, Aa Tarmana. Di dalamnya akan dibangun apartemen, wahana kawula muda, pusat seni, serta rumah makan.
Perencanaan yang sudah menggandeng developer PT EGI ini menjadi kontroversi baru meski PT EGI menjanjikan akan melakukan penataan terhadap pohon-pohon di tempat ini.
Kontroversi itu kini kembali mencuat. Berbagai kepentingan saling bersuara untuk mendudukan kawasan ini pada posisi semestinya. Posisi dari sudut pandang yang berbeda di mata pemerintah, pengembang, seniman dan masyarakat.
Semua memiliki dalih dan kepentingan termasuk kekhawatiran para masyarakat dan seniman akan terancamnya kembali satu paru-paru kota. Sekaligus hilangnya satu wilayah kreatifitas yang menjadi media pembelajaran bagi tangan-tangan pecinta seni.
Memang, oase hijau ini seperti kue lezat yang memikat. Dalam perjalanannya menuai kontroversi panjang dengan mempertanyakan, siapa yang akan menikmati kue lezat ini nanti?
(ema/ema)
Jumat, 12/09/2008 12:09 WIB
Mesjid As-Shofia, Dibangun dari Iuran
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Sumber dana pendirian Masjid As-Shofia yang terletak di Kecamatan Dayeuhkolot sebagian besar berasal dari para pedagang. Dari total biaya Rp 13 miliar yang dihabiskan untuk membangun, APBD kabupaten Bandung hanya menyumbangkan Rp 150 juta.
"Dana pembangunan awal dari para pedagang yang akan menyewa tempat. Mereka membayar DP dulu," jelas Pengelola Masjid As-Shofia Edi Ronron (47).
Edi menjelaskan biaya sewa selama 25 tahun dengan perpanjangan lima tahun sekali setiap, pedagang membayar Rp 30 juta. Untuk menyelesaikan pembangunan para pedagang membayar uang muka terlebih dahulu.
"Maka pembangunan pun diprioritaskan untuk para pedagang karena mereka merupakan sumber dana," jelas Edi. Kucuran dana dari pemerintah yang berasal dari APBD 2006 dan 2007 seluruhnya sebesar Rp 150 juta.
Namun Edi mengungkapkan pembangunan masjid ini bukan hanya sekedar alasan ekonomi. "Bukan karena ekonomi para pedagang juga orang Islam karena lillahita'ala, ingin membangun rumah Allah," jelas Edi.
Pembangunan tempat inipun membuahkan hasil yang menguntungkan bagi para pedagang bahkan jauh dari sebelumnya. "Jauh dibandingkan sebelum dibangun bisa beberapa kali lipat. Jika dulu omzet hanya Rp 300 ribu-Rp 500 ribu per hari sekarang minimal Rp 2 juta per hari," aku Edi. "Alhamdulillah apa yang kami harapkan terkabul," tambahnya.(ema/ern)
Sabtu, 13/09/2008 08:36 WIB
Swarha, Gedung Bersejarah Yang Terlantar
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Jika melintas ke Jalan Asia Afrika, sederetan gedung bersejarah akan menjadi pemandangan khas yang bisa ditemui. Tapi sesuatu yang ganjil akan tampak di saat melihat gedung tua di samping Mesjid Agung yang seperti dianaktirikan.
Menyedihkan. kosong, kusam, tak terawat, dengan cat yang mengelupas dan warna yang memudar. Beberapa kaca jendelanya bolong, retak bahkan pecah.
Tulisan Swarha yang tepat berada di puncak gedung pun salah satu hurufnya sudah tidak utuh. Padahal, seperti halnya gedung-gedung bersejarah di jalan ini, bangunan ini memiliki nilai historis.
Mewakili gaya arsitektur klasik, electicism dengan banyak dekorasi. Gedung Swarha dibangun antara tahun 1930-1935 oleh arsitek Belanda, Wolff Schoemaker. Bangunan ini semula berfungsi sebagai toko dan hotel.
Para jurnalis yang meliput Konferensi Asia Afrika tahun 1955 seperti Rosihan Anwar pernah menginap di hotel ini. Kini, hanya lantai bawah gedung yang dimanfaatkan untuk toko. Sedangkan empat lantai lainnya dibiarkan tak berfungsi.
Saat ditemui di salah satu toko yang berada di lantai bawah gedung Swarha, Toko Indra, pemiliknya yang dipanggil Ibu Indra mengaku gedung itu adalah miliknya. Namun dia enggan mengungkapkan lebih jauh mengenai kondisi gedung tersebut sekarang.
Seorang pedagang yang berada di areal lainnya, Suhanda (49) mengatakan dirinya tidak begitu mengetahui ihwal gedung Swarha ini, begitu pun kepemilikannya. Namun dia menyewa tempat ini dari seorang yang dipanggilnya Ibu San Chan.
"Saya kurang tahu pasti sebab baru di sini dua tahun," jelas Suhanda.
Sepengetahuannya, selama dia berjualan, gedung ini memang tidak dirawat."Tidak seperti gedung-gedung lainnya yang bersejarah terawat. Tapi gedung ini dibiarkan saja," ujarnya.
Seorang tukang parkir di Mesjid Agung, Uju (72) menyatakan gedung Swarha sebelumnya memang berfungsi sebagai hotel.
"Sampai tahun 1965 gedung Swarha ini adalah hotel," tutur Uju yang sudah menjadi tukang parkir dari tahun 1970.
Setelah tahun 1965, lanjut Uju, gedung Swarha kosong. Dirinya tidak tahu menahu dimanfaatkan untuk apa gedung Swarha saat itu.
"Gedung ini kan dalam sengketa," jelas Uju yang mengatakan gedung tersebut milik pemerintah kota. Namun diakuinya bahwa selama dia menjadi tukang parkir tidak ada pihak pemerintah atau pihak manapun yang merawat gedung tersebut. Entah sampai kapan.
(ema/ema)
Selasa, 16/09/2008 13:21 WIB
Swarha, Gedung Tua yang Salahi Tata Ruang
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Keberadaan gedung Swarha di Jalan Asia Afrika sebagai salah gedung tua yang di Bandung dinilai tidak cocok dengan konsep tata ruang. Tak hanya itu, gedung tua ini pun tak punya nilai sejarah.
Tidak hanya itu, Head of Natural & Build Environmet Bandung Heritage, Dibyo Hartono menyampaikan, dari sisi sejarah, bangunan tersebut dianggap tidak terlalu bersejarah, tidak terlalu memiliki arsitektur tinggi dan tidak terlalu bagus.
Memandang persoalan gedung tua seperti halnya gedung Swarha harus dilihat dari UU Pelestarian Cagar Budaya. Di mana untuk bangunan yang usianya lebih dari 50 tahun memang harus diperhatikan mengenai perawatan dan pemeliharaannya. Namun belum tentu gedung tersebut masuk sebagai bangunan cagar budaya.
"Untuk orang bule, bangunan yang berada di pojok jalan tidak cocok dengan tata ruang," ujar dosen ITB ini.
Bangunan Swarha yang semula difungsikan sebagai hotel tersebut, menurutnya tidak memiliki ruang terbuka seperti halnya kantor pos Bandung atau Hotel Homan yang juga terletak di Jalan Asia Afrika.
"Gedung Swarha terlalu mepet dengan jalan. Dengan bentuk bangunan seperti itu tidak cocok dengan tata ruang," jelasnya.
Lagipula, sambung Dibyo, dilihat dari sisi sejarah bangunan ini tidak terlalu memiliki nilai sejarah. Hanya sedikit terkait dengan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika 1955. Saat itu, gedung ini dijadikan hotel untuk menginap para tamu undangan dan wartawan yang meliput KAA.
Sebaiknya, lanjut Dibyo, gedung tersebut dihancurkan saja dan dibangun sebagai perluasan Masjid Alun-alun Bandung. Meski disayangkannya bahwa hal itu tidak terjadi karena kini Mesjid Agung diperluas dengan mengambil area taman Alun-alun.
Gedung swarha yang terletak di Jalan Asia Afrika di depan Kantor Pos Besar Bandung saat ini memang dalam kondisi tidak terawat.
Hanya lantai bawah yang diisi oleh pedagang terutama pedagang sandang. Lantai lainnya dibiarkan kosong dengan kondisi cat yang mengelupas, beberapa kaca jendela pecah dan bolong. Hingga saat ini gedung tersebut masih berdiri tanpa sentuhan untuk membuat gedung ini lebih berarti.(ema/ern)
Kamis, 18/09/2008 11:46 WIB
Ngabuburit Lihat Bandung dari Atas Menara
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Bandung diriung ku gunung. Untaian pegunungan yang mengelilingi Bandung itu bisa dilihat meski dari kejauhan dari balik jendela menara Masjid Alun-alun Bandung. Tak hanya itu, dari atas sana mata seluas mata memandang panorama Kota Bandung terlihat dari barat ke timur juga utara ke selatan.
Kendaraan yang lalu lalang begitu pun para pejalan kaki terlihat begitu kecil. Gedung-gedung tinggi yang biasanya membuat wajah tengadah untuk melihat seolah menjadi begitu kerdil.
Begitulah wisata murah meriah yang ditawarkan Masjid Alun-alun Bandung melalui menaranya. Meski tak setinggi menara Petronas di Malaysia, wisata ini bisa jadi alternatif tempat ngabuburit.
Jika di luar bulan ramadan wisata menara tersebut hanya dibuka akhir pekan, selama bulan ramadan warga Bandung bisa setiap hari berkunjung sambil ngabuburit.
Seperti yang dilakukan Santosa (44) warga Antapani yang seringkali sengaja datang untuk berwisata di tempat ini. Sore itu, Santosa mengajak putrinya yang berusia 9 tahun untuk menunjukan wajah Bandung dari atas menara.
"Selama ramadan saya sudah empat kali ke sini sambil ngabuburit," ujar Santosa. Namun di luar ramadan pun Santosa mengaku cukup sering datang berkunjung bersama keluarga.
"Ya, wisata murah meriah lah. Lumayan bisa lihat Bandung dari atas sini," ujarnya sambil menunjuk satu tempat pada putrinya.
Bagaimana tidak murah meriah, hanya dengan Rp 2.000 untuk orang dewasa dan Rp 1.000 untuk anak kecil, pengunjung bisa melewatkan waktu sambil menunggu bedug maghrib tiba.
Menurut penjual karcis Wisata Menara Masjid Agung Yayat Ruhiyat (31) pengunjung di hari biasa bulan puasa bisa mencapai 200 orang sedangkan di akhir pekannya bisa mencapai 300 sampai 400 orang. Penggemar wisata ini tak hanya warga Bandung tapi juga warga luar Bandung terutama saat akhir pekan
"Kalau di luar ramadan hanya buka akhir pekan pengunjung sekitar 200 orang," tutur Yayat. Menurut Yayat kebanyakan pengunjung memanfaatkan wisata rohani di menara Masjid Agung sambil ngabuburit.
Meski sudah dibuka sejak pukul 10.00 WIB, para pengunjung mulai ramai mendekati waktu buka puasa sekitar pukul 17.00-17.30 WIB. Jika pengunjung ramai, hanya diberi waktu 15 menit saja untuk menatap Kota Bandung dari atas menara. Tapi jika sepi maka bisa sepuasnya berwisata sambil bersantai.
Menurut Yayat menara setinggi 87 meter ini sudah ada sejak tahun 2003 bersamaan dengan selesainya pembangunan Masjid agung. Namun ramadan kali ini menara yang digunakan hanya menara bagian selatan karena menara utara sedang dalam perbaikan.
Untuk menuju menara, pengunjung akan diantarkan melalui lift yang dijaga seorang operator. Setelah sampai di lantai 19, pemandangan Kota Bandung segera menyambut dari balik jendela di sekeliling menara yang membulat. Pemandangan Bandung yang dikelilingi oleh gunung-gunung pun dipandang sejuk meski dari kejauhan.(ema/ern)
Kamis, 09/10/2008 09:00 WIB
Jalan Pasteur, Gerbang Penyambut Para Pelancong
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Tercatat tiga bangunan peninggalan zaman kolonial berdiri di jalan ini, yaitu Rumah Sakit Hasan Sadikin, kantor BUMN PT Biofarma, dan Panti Asuhan Dana Mulya. Satu diantaranya menjadi cikal bakal penamaan jalan, yang menjadi jalur utama para pelancong Jakarta untuk pelesir di Parisj Van Java.
Jalan Pasteur. Apa yang anda pikirkan ketika melewati Jalan ini? Pernahkah terpikir dari mana nama Pasteur ini berasal. Setiap nama memang punya cerita, begitu pun untuk sebuah jalan.
Mungkin tak pernah terpikir bahwa nama Jalan Pasteur terkait dengan keberadaan Bio Farma di Jalan Pasteur No 28. Menurut Rizki W Soemadipradja, Dosen Hukum Pranata Pembangunan Arsitektur Itenas, nama Pasteur diambil dari nama ahli kimia dan biolog Perancis Louis Pasteur yang mengembangkan tekhnik pasteurisasi.
Biofarma, ungkap Rizki, adalah salah satu lembaga yang mengembangkan vaksin yang dasar penemuannya dari Louis Pasteur. Nama Pasteur sendiri menjadi lekat karena Bio Farma pernah menyandang kata Pasteur di belakang namanya.
Bio Farma didirikan 1890, yang kala itu bernama Landskoepok Inrichting en Instituut Pasteur. Nama tersebut pun diubah oleh pemerintah Indonesia ketika terjadi nasionalisasi perusahaan Belanda antara tahun 1955-1960. Hingga akhirnya dari tahun 1997 sampai sekarang menjadi Badan usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT).
Selain tiga bangunan bersejarah banyak tempat yang menarik di sepanjang Jalan Pasteur. Terlebih jika terus menelusuri Jalan Terusan Pasteur atau Jalan DR Djunjunan yang membelah Jalan Pasirkaliki ini.
Keberadaan tol Cipularang yang mempersempit jarak antara Bandung dan Jakarta, membuat jalan ini seperti gerbang selamat datang sekaligus selamat jalan. Lihat saja di sepanjang jalan tawaran wisata belanja kuliner begitu menggiurkan.
Beberapa puluh meter dari gerbang tol, kelezatan ikan pesmol Cianjur langsung menyambut. Rupa-rupa rumah makan Sunda, dengan ciri khasnya masing-masing akan membuat anda pusing untuk menentukan.
Misalnya rumah makan Manjabal, Saung Kabayan, Raja Sunda, Warung Cepot, Rumah Makan Oneng, Rumah Makan Wibisana, Griya dahar Ibu Kadi di mana Surabi Imut sudah menyambut di muka gerbang atau Grobak Rakyat di dalam kemegahan Giant Hypermarket yang juga menyajikan makanan tradisional. Kangen dengan yoghurt? Tak perlu jauh ke Jalan Aceh, BMC sudah membuka cabangnya di Jalan Terusan Pasteur beberapa bulan lalu.
Ingin makanan yang lebih eksotis? Rumah Makan Naya menyediakan olahan daging ular selain menu utama lainnya yaitu Chinese Food. Untuk yang hobi makan fast food tentunya bisa menikmati beberapa tempat makan fast food di Bandung Trade Center. Beberapa rumah makan lainnya pun bisa menjadi pilihan dengan kekhasan masing-masing. Tentunya disesuaikan dengan selera anda.
Beberapa hotel seperti Grand Aquila, Hotel Nyland atau Topaz Galeria Hotel bisa menjadi pilihan bermalam agar lebih dekat menuju tol Cipularang. Jika akan pulang, deretan penjual oleh-oleh sudah menyambut ketika turun dari jembatan Pasupati.
Tapi anda harus cukup berhati-hati, arus kendaraan di jalan ini bisa terbilang cukup kencang. Meski ada zebra cross sebaiknya pilih jembatan penyeberangan agar lebih aman. Untuk berjalan-jalan di Kota Bandung, sederetan taksi selalu siap di sepanjang jalan ini untuk menghantarkan anda menuju tempat asyik lain di Kota Bandung.
(ema/ern)
Kamis, 16/10/2008 12:17 WIB
Radio City yang Kini Mati
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Seorang lelaki tua penjaga kios rokok dan minuman Didi Wijaya (80) terduduk sambil menunggu pelanggan di depan gedung bersejarah ini. Dia mengungkapkan, dulu dirinya pernah menjadi saksi pembangunan gedung ini.
Radio City, demikian dituturkan Didi nama awal gedung ini ketika dibangun. Terletak di pusat kota antara Jalan Dalem Kaum, Jalan Balong Gede dan bersebelahan dengan Gedung Pendopo. Gedung ini, awalnya berfungsi sebagai bioskop.
Menurut catatan sejarah gedung ini menjadi gedung bioskop peninggalan kolonial yang masih bertahan sampai saat ini, selain gedung Asia Afrika Culture Center (AACC) bekas bioskop Majestic.
"Ayeuna mah jadi tempat futsal (Sekarang jadi tempat futsal-red)," tutur Didi seolah menyesalkan pengalihan fungsi bangunan tersebut. Menurut Didi gedung ini dijadikan tempat futsal sejak lima tahun yang lalu.
Didi yang sudah berjualan dari tahun 1945 di kawasan ini, berpendapat bermunculannya gedung-gedung bioskop baru di Bandung membuat bioskop ini sepi pengunjung sampai akhirnya mengalami kebangkrutan.
Kini Radio City bernama Dian Kancana Futsal Club. Dibangun pada tahun 1923 oleh C.P. Wolff Schoemaker dengan gara arsitektur Art Neveau (Indo Europeeschen Arshitectuur Stijl).
Gedung yang dibangun di atas tanah seluas 1.105 meter persegi ini, dulunya milik orang Belanda bernama Bussye. Setelah ada gerakan nasionalisasi perusahaan Belanda, pengelolaannya di bawah Perusahaan Daerah Jasa dan Kepariwisataan.
Menurut Asep (31), penjaga gedung Dian Kencana, gedung ini disewakan pada pengusaha swasta. Setiap harinya banyak warga sekitar yang menyewa tempat ini untuk kegiatan futsal dengan tarif Rp 65 ribu per jam.
Dikatakan Asep, untuk masalah perawatan diserahkan kepada pihak penyewa. "Pemeliharaan yang pernah dilakukan adalah pengecatan bagian luar gedung," tutur Asep.
Dari luar, bangunan ini terlihat tidak terpelihara dengan baik. Terlebih ketika memasuki bagian dalam gedung. Saat tidak ada kegiatan futsal, suasana gedung cukup mencekam dengan langit-langit atap yang bolong-bolong. Menaungi lapangan futsal yang luas dengan dua gawang terpasang di bagian tepi.
Sebelum menuju balkon, tampak tanda-tanda bahwa gedung tersebut pernah jadi bioskop. Sebuah papan nama penunjuk pemutaran film masih terpasang di dinding.
Naik menuju balkon lebih menunjukan sosok bangunan tua tak terawat. Cat-cat terkelupas, kotor dan beberapa tumpukan sampah di beberapa bagian. Rasa mencekam kian menguat apalagi dengan pencahayaan ruangan yang begitu kurang. Tampak menyeramkan.
(ema/ern)
Jumat, 17/10/2008 09:57 WIB
Tak Ada Lagi Tempat Bermain di Cihampelas
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Dulu bukanlah toko-toko jeans atau factory outlet yang meraja tapi kebun-kebun palawija.Di kebun-kebun itulah para ABG sering memanfaatkan beragam tanaman di kebun tersebut untuk di makan.
Berada di antara aliran sungai Cibarani dan Cikapundung, antara tahun 60 sampai 70-an kawasan Cihampelas dulu adalah kawasan yang asri dan hijau. Dari kawasan Cikapundung sampai Tamansari terhampar sawah yang luas. Di sawah itu pula bocah-bocah bermain sambil ngurek (mancing belut-red).
"Sekarang tidak ada lagi sarana bermain untuk anak," kenang Oom Krisnahadi (60) warga RW 02 Jalan Cihampelas, Kelurahan Cipaganti Kecamatan Coblong.
Oom menuturkan dulu anak-anak suka mandi menggunakan ban di Cibarani tapi sekarang mereka tidak merasakan semua itu. "Kasihan anak-anak sekarang," ujar Oom yang pernah menjabat sebagai ketua RW tersebut.
Kekhasan yang lain pada masa itu teriakan penjual borondong garing setiap pukul 19.00 WIB. "Borondong garing...!" seru Oom menirukan penjual borondong garing kala itu.
Tak ada lagi kebun, tak ada lagi sawah yang terhampar atau seruan borondong garing di heningnya malam Jalan Cihampelas. Sekitar tahun 88-an kawasan ini mulai berganti wajah sedikit demi sedikit menjadi kawasan wisata belanja. Para pelancong pun datang yang membuat kawasan yang awalnya menjadi pusat jeans mulai dipenuhi bangunan-bangunan FO baru.
Dituturkan Urip (58) tukang parkir di Perahu Jeans Jalan Cihampelas bangunan baru awalnya bisa berasal dari rumah warga. Begitu pun zaman dulu Jalan Cihampelas masih dipenuhi bangunan-bangunan peninggalan kolonial yang banyak beralih menjadi toko. Kekhasan bangunannya pun sudah menghilang karena diubah oleh pemiliknya.
Cihampelas memang tak lagi seperti dulu. Kian ramai, kian sesak oleh bangunan. Dari mulai Cihampelas atas sampai Cihampelas bawah memang tampak ada beberapa bangunan baru dalam bentuk FO atau hotel. FO baru masih berkarakter Superhero khas Cihampelas seperti Iron Man, Superhero FO atau bangunan gaya klasik Cihampelas Point Factory Outlet yang menyatu dengan bangunan bersejarah FO Parisj Van Java.
Layaknya tempat wisata belanja pastilah ada wisata kuliner. Misalnya kuliner khas Sunda Arum Manis, Ayam cobek langganan, Piccolinos Kebab, sajian sop buntut dari La Rush, Bakmi Jogja Pak Roso atau Sapulidi resto yang sudah ada sejak dulu. Deretan penjual oleh-oleh pun sudah tak terhitung termasuk Oncom Raos di Cihampelas bawah yang sudah ada sejak zaman kolonial.
Kemacetan pun menjadi ciri khas lain yang timbul dari keberadaan kawasan wisata belanja.Termasuk banjir yang sering melanda kala hujan turun karena sistem drainase yang tidak tepat serta berkumpulnya sampah di saluran air. Sehingga ketika hujan turun tak ada lagi anak-anak yang berlari-lari, bermain di bawah guyuran derasnya karena Cihampelas tak seperti dulu lagi.
(ema/afz)
Rabu, 22/10/2008 08:44 WIB
Sepenggal Kisah FO di Jalan Otten
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Jalan Dr Otten adalah satu dari nama jalan yang diberikan bangsa Belanda sebagai penghormatan terhadap orang-orang yang berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping Jalan Dr Eijkman, Dr Rajiman, Dr Currie dan lain-lain yang masih ada di sekitar kawasan Jalan Pasteur.
Dr Otten dulu pernah menjabat sebagai Kepala PT Biofarma pada zaman Hindia Belanda. Bernama lengkap Dr L Otten. Ilmuan ini menemukan vaksin pes (sampar) pada tahun 1934, juga vaksin cacar (1917) semasa bertugas di Hindia Belanda.
Di jalan ini beberapa rumah tinggal peninggalan zaman kolonial pun masih tampak. Dengan atap menjulang dan tembok-tembok khas serta pekarangan yang luas. Ada pula bangunan yang sudah direnovasi sehingga kesan kunonya tidak terlihat lagi.
Dulu, Jalan Dr Otten ramai sebagai kawasan Factory Outlet (FO). Namun karena menyalahi aturan tata ruang maka FO-FO tersebut pun dipindahkan salah satunya ke Jalan RE Martadinata.
Hanya papan nama bertuliskan Funky FO yang menunjukan bahwa tempat itu pernah menjadi FO menjadi satu-satunya tanda penunjuk.
Menurut salah seorang satpam di perusahaan rokok yang ada di sebelah bekas Funky FO, Wiliyas, setelah dipindahkan ke Jalan Martadinata nama Funky FO diubah jadi Renariti.
Dulu menurutnya ada sekitar empat FO di tempat ini termasuk Otten One yang ada di muka Jalan Otten. FO-FO tersebut menggunakan rumah-rumah penduduk sebagai tempat usaha.
Salah satu pengusaha yang pernah membuka FO di tempat ini adalah Raja FO Perry Tristianto.
Beda halnya dengan pemilik Rumah Brownies, Wida (36) yang menyatakan dulu ada sekitar empat FO di jalan ini. Wida pun mengaku rumahnya yang kini dijadikan Rumah Brownies sebelumnya pernah disewakan salah satunya untuk dijadikan FO.
"Tapi lima tahun yang lalu satu per satu FO mulai dipindahkan karena pemerintah melarang ada FO di tempat ini," tutur Wida.
Pada awalnya menurut Wida masih banyak orang yang menanyakan mengenai FO-FO tersebut tapi lama-lama mereka pun terbiasa karena Jalan Otten selepas FO menjadi lebih ramai dengan tempat oleh-oleh. Tapi Wida mengaku ketiadaan FO tidak lantas membuat Jalan ini sepi.
Beda halnya dengan Irma, penjaga Snack Corner. Menurutnya setelah FO tidak ada pengunjung Snack Corner sedikit berkurang tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Selain Rumah Brownies dan Snack Corner anda bisa menikmati suguhan bakso Nursijan, makanan-makanan khas Cirebon di warung De'Rais, aneka steik dan aneka kuliner di kedai makanan di depan toko Kawani yang menyediakan peralatan untuk para pecinta gunung ini.
Di pinggiran Jalan Dr Otten pun tampak beberapa roda kaki lima yang juga menawarkan oleh-oleh brownies untuk anda.(ema/afz)
Kamis, 23/10/2008 10:33 WIB
Mantan Bupati Bandung Ke-6 Gantikan Jalan Cipaganti
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Butuh waktu yang cukup lama untuk membiasakan masyarakat Bandung menyebut Jalan Cipaganti dengan Jalan A A Wiranatakusumah. Mungkin pula tidak banyak yang tahu siapakah A A Wiranatakusumah ini.
Meskipun dalam beberapa literatur disebutkan penulisan namanya bukan Rd A A Wiranata Kusumah tapi R A Wiranatakusumah.
R A Wiranatakusumah (1794-1829) adalah Bupati Bandung ke-6 yang disebut-sebut sebagai pendiri Kota Bandung atau founding father. Bupati beserta rakyatnya pernah tinggal di Cikalintu yang ada di kawasan Cipaganti sekitar akhir tahun 1808. Perpindahan ini bagian dari proses pembentukan ibukota Bandung.
Awalnya tinggal di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot). Setelah dari Cikalintu pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampung Bogor (Kebon Kawung yang sekarang pada lahan Gedung Pakuan sekarang).
Pembangunan Kota Bandung dipimpin langsung oleh Bupati R A Wiranatakusumah. Kota Bandung sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung diresmikan 25 September 1810.(ema/afz)
Kamis, 23/10/2008 12:20 WIB
Masjid Cipaganti, Kolaborasi Jawa dan Eropa
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Pangemoet-ngemoet
ngadegna
Masjid Tjipaganti
Ngawitan di pidamel dina ping
.......
Demikian tulisan awal yang tertera dalam sebuah plakat di pinggir bangunan utama Masjid Raya Cipaganti, Jalan Cipaganti, Kelurahan Pasteur Kecamatan Sukajadi sebagai pengingat bahwa pendirian masjid ini memiliki akar sejarah.
Selanjutnya tulisan itu menuliskan Masjid Cipaganti didirikan 7 Februari 1933. Diresmikan setahun kemudian, 27 Januari 1934. Peletakan batu pertama di pasang oleh Bupati Bandung saat itu Raden Tb Hasan Soemadipraja bersama Patih Bandung Raden RG Wirijadinyang serta Raden Hadji Abdul Kadir.
Sekitar setengah meter ke bawah plakat lainnya menuliskan nama arsitek kenamaan Belanda Wolf Schoemaker sebagai konseptor bangunan. Dalam pelaksanaan pembangunannya dibantu Karamich Laboratorioum, sebagai pelaksana pembuatan ornamen keramik dan Gementelijke Ambachtscholl sebagai pelaksana ornamen kayu.
Beratapkan sirap, tiang-tiang kokohnya terbuat dari kayu jati yang terpahat ukiran-ukiran kaligrafi, arsitektur Masjid Cipaganti menggabungkan arsitektur Eropa dengan arsitektur Jawa. Lampu antik berbahan kuningan menggantung di langit-langit, penghias yang menjadi salah satu petanda kekunoannya.
Dibangun di atas areal 2.025 meter persegi bangunan asli hasil karya Wolf Schomaker hanyalah area tengah yang berukuran 19x15 meter. Sedangkan bagian sayap kiri dan sayap kanan masjid yang masing-masing berukuran 17x15 meter dibangun tahun 1965. Selebihnya digunakan untuk pekarangan masjid.
Menurut Pengurus Masjid Cipaganti Uju Dimyati (68) bangunan asli Masjid adalah bangunan bagian tengah. Untuk membedakan antara bangunan asli dan bangunan baru diberikan pembatas. Di mana area bangunan lama dibuat 20 centimeter lebih tinggi dari lantai bangunan baru.
"Bangunan lama tidak pernah diubah. Ukiran-ukirannya masih asli hanya dicat ulang saja," tutur Uju yang bertugas sebagai muadzin dan pertugas kebersihan masjid. Uju pun menuturkan hanya bagian sirap (atap) bangunan pernah diganti sekitar 2-3 kali.
Saat dilakukan renovasi pada 2 Agustus 1979-31 agustus 1988 pada masa pemerintahan Walikota Ateng Wahyudi, beberapa bagian bangunan lama ada yang diubah. Misalnya bagian lantai yang aslinya berwarna merah, ditutup dengan warna putih untuk menyeragamkan warna dengan bangunan baru. Di bagian depan di buat dinding keramik yang memisahkan tempat untuk imam dan makmum.
"Jika dibandingkan bangunan baru kekuatan bangunan lama lebih unggul. Tembok-temboknya, langit-langitnya tidak pernah diganti beda dengan bangunan lama yang sudah sering direnovasi," ujar Uju membandingkan.
Uju menyatakan nilai sejarah Masjid Cipaganti menjadi salah satu alasan datangnya pengunjung dari luar kawasan Cipaganti termask dari luar negeri. Bahkan menurut Uju, pernah ada warga Belanda yang mengaku keturunan Schoemaker datang untuk memastikan keberadaan bangunan hasil karya nenek moyangnya ini.
Uju mengisahkan pada tahun 1950-an Presiden RI ke-1 Soekarno pernah menginjakan kakinya di tempat ini.
Sebagai masjid yang berada di jalur utama Kota Bandung Masjid Cipaganti tentulah selalu ramai. Terlebih ketika pelaksanaan shalat Jumat, jamaah memenuhi sampai area pekarangan masjid. Hal itu pula yang membuat banyak pedagang berderet di muka gerbang masjid menyambut kedatangan pengunjung.
Uang pemeliharaan masjid dihasilkan dari swadaya dibantu infaq dari pengunjung. Pemerintah sendiri baru memberikan dana jika diminta.(ema/ern)