Rumentang Siang, Rumah Seni Minim Perawatan
Ema Nur Arifah - detikBandung
Bandung - Seperti halnya gedung Asia Africa Culture Centre (AACC) yang bekas gedung bioskop Majestic, gedung kesenian ini bekas gedung bioskop Rivoli, Gedung Kesenian Rumentang Siang di Jalan Baranang Siang No 2, dekat Pasar Kosambi.
Pada masa itu, gedung kesenian yang baru ada adalah gedung Yayasan Pusat kebudayaan (YPK). Sebagai persembahan bagi para seniman, sebelum masa tugasnya berakhir, Gubernur Jawa Barat, Solihin GP membuatkan gedung kesenian Rumentang Siang di tahun 1975.
"Gedung Rumentang Siang merupakan peninggalan dari gubernur Solihin GP untuk para seniman," jelas pengelola GK. Rumentang Siang, Cece Raksa, yang sudah ikut mengelola sejak gedung ini berdiri.
Sebelum nama Rumentang Siang ditetapkan, nama Kandaga Bandung sempat dilontarkan oleh Walikota Bandung saat itu, Oce Djunjunan.
Penyair, Wahyu Wibisana lah yang mengajukan nama Rumentang Siang. Dalam bahasa Sunda, Rumentang diambil dari kata rentang-rentang yaitu samar-samar terlihat dari kejauhan untuk mendekat, sedangkan siang berarti nyata.
Secara keseluruhan, Rumentang Siang bisa diartikan ketika berbagai seniman dengan beragam kesenian dari berbagai daerah yang jauh masih samar-samar, tidak terlihat. Namun ketika ada GK. Rumentang Siang, keberadaan mereka akan lebih nyata.
Sebagai salah satu bangunan bersejarah peninggalan Belanda, pembangunan GK. Rumentang Siang tak merubah struktur bangunan. Hanya interior ruangan yang mengalami perubahan untuk dibangun sebuah panggung dan kamar rias.
Sejak pendiriannya hingga tahun 1982, berbagai kesenian unggulan daerah di gelar di tempat ini. Tak hanya itu, sampai tahun 2000, kerjasama kebudayaan dengan beberapa negara dijalin. Misalnya dengan Japan Foundation, British Council juga kedutaan besar Australia.
Namun, alasan tak ada biaya serta kemunduran kondisi gedung membuat kerjasama itu tak lagi dilakukan. Sarana prasarana seperti kursi, sound system dan light sistem tak cukup memadai.
"Kami tidak mungkin melakukan kerjasama dengan kondisi gedung yang sudah kurang bagus. Hingga kami harus berpikir 2 sampai 3 kali untuk melakukan itu. Lagipula tidak ada biaya, minimal untuk biaya produksi," tutur Cece.
Rumentang Siang berkapasitas 347 orang penonton. Dengan luas panggung 8 x 12 meter, sebenarnya kurang memenuhi syarat panggung sebuah pertunjukan. Diperlukan kedalaman panggung yang lebih dalam.
Cece mengaku, hingga sekitar pertengahan tahun 2003, Rumentang Siang masih mendapat kucuran dana dari pemerintah provinsi. Kini, pengelolaan Rumentang Siang tidak mendapatkan perhatian optimal dari pemerintah.
Untuk fisik bangunan, pengelolaan Rumentang Siang berada di bawah PT. Jasa Wisata, sementara untuk program dibawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung.
Antara tahun 2004-2005, Disbudpar pernah melakukan ronovasi panggung juga toilet. Namun, dari pihak Disbudpar sendiri mengakui bahwa secara administratif, GK. Rumentang Siang tidak di bawah Disbudpar, tapi di bawah PT. Jawi. Sehingga untuk pengelolaan fisik merupakan tanggung jawab PT. Jawi.
Cece mengharapkan akan dikeluarkannya Perda yang mengatur tanggung jawab pengelolaan fisik gedung. Di mana bukan lagi PT. Jawi yang bertanggung jawab, melainkan Disbudpar.
Saat ini hampir tidak ada biaya perawatan gedung. Untuk operasionalisasi lebih banyak mengandalkan dari hasil penjualan tiket petunjukan. Padahal, untuk satu bulan diperlukan anggaran sekitar Rp 8 juta, termasuk untuk honor karyawan.
"Delapan juta itu angka yang sudah sangat nge-pas," ujar Cece.
Setiap hari, GK. Rumentang Siang tak pernah sepi. Sebagai tempat latihan, baik tari atau teater maupun tempat berkumpulnya para seniman Bandung.
Agenda-agenda pertunjukan senantiasa menghangatkan GK sudah sekitar 80 tahun berdiri. Walaupun tak lagi sepadat masa-masa sebelumnya.
Seperti halnya 11 Februari hingga 1 Maret 2008 ini, sebuah festival tahunan kembali digelar, Festival Drama Basa Sunda (FDBS) oleh Teater Sunda Kiwari.(ema/ern)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar