Putu Fajar Arcana
KOMPAS.com - Pada pertarungan kelima, tangan Putu Kebo (30) berdarah. Sementara lawannya, Komang Rerod (45), masih segar bugar. Pertempuran dua jagoan dari Desa Seraya, Kabupaten Karangasem, Bali, dalam ritual ”gebug ende” saat Festival Hujan di Bentara Budaya Bali, Minggu (21/2), itu pun dihentikan.
Mendung secara tiba-tiba menyelimuti langit seputar Ketewel, Gianyar, tempat Bentara Budaya Bali berlokasi. Ada pertanda hujan segera turun. Pengunjung serentak menoleh ke langit ketika rinai gerimis. ”Benar-benar hujan,” spontan pemikir kebudayaan asal Perancis, Jean Couteau, yang duduk di deretan depan berucap. Kepala Desa Seraya I Ketut Badra pun optimistis pada keberhasilan ritual di senja itu.
Namun, fenomena alam itu tak berlangsung lama. Ketika awak Teater Payung Hitam menggelar repertoar ”Puisi Tubuh”, mendung sudah lenyap. Sinar bulan dari langit belahan barat berpadu dengan cahaya lampu menerpa tubuh para aktor.
”Biasanya, kalau darah sudah mengucur dari kepala petarung, hujan akan segera turun,” tutur Badra.
”Jika daun jagung muda layu, gamelan akan dibunyikan. Warga dari segala pelosok berkumpul untuk menggelar
Menurut dia, hampir semua lelaki di Seraya adalah petarung andal. Mereka akan menari dan bersiap-siap memukul lawan dengan tongkat rotan atau menangkis dengan tameng serangan musuh. Badra tidak begitu mengerti sejak kapan tradisi
Ritual serupa dengan nama berbeda terdapat pula di Lombok. Menurut Sayuti (45), warga Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, di daerahnya, pertarungan dua lelaki dengan tongkat rotan dan
Sebagai ritual,
Bagi Wayan Wirdu (60), petani di Seraya, jagung ibarat nyawa keluarga. Sebagian besar warga Seraya memang mengandalkan jagung sebagai makanan pokok. Mungkin itu pulalah sebabnya di dekat pasar desa sejak tahun 1970-an didirikan patung jagung. ”Tapi, kini dirobohkan karena mau dibangun taman,” tutur Made Budi Sejati yang tinggal di dekat pasar desa.
Kendati begitu, jagung sampai kini bagi Nyoman Panca (29) tetap menjadi tumpuan hidup. Di sekitar rumah gubuknya yang terletak di utara desa, jagung tumbuh dengan subur pada musim ini. Padahal, lelaki ini pernah menjadi perantau dan bekerja sebagai pematung di kawasan wisata Ubud, Gianyar. ”Saya putuskan pulang setelah menikah. Lebih baik di sini bertani meski sehari-hari makan jagung,” tutur Panca sembari mengikat ilalang sebagai atap dapurnya yang baru.
Penduduk Seraya, menurut Badra, berkisar 21.000 orang dan lebih dari 60 persen adalah petani jagung. Sisanya sedang bergegas menjalani hidup sebagai perajin anyaman dari serat ate dan pematung. Mereka yang perajin pun sebenarnya masih menyisakan hari-hari untuk bertanam jagung. Sebagai orang pegunungan, bahasa warga Seraya berbeda dengan bahasa Bali dataran.
”Kami tidak mengenal huruf ’e’ di akhir nama sebagaimana orang Bali umumnya. Akhir huruf ’a’ ya kami baca ’a’. Bahkan, ada beberapa kata yang berbeda sekali,” ujar Badra.
Tradisi
Konon, dalam sejarahnya, ungkap Badra, warga Seraya termasuk turunan prajurit yang diandalkan pada masa Kerajaan Karangasem. Mereka bahkan menjadi benteng pertama saat ekspansi Gajahmada dari arah timur ke Bali.
”Maka itu, dalam setiap rumah kami memiliki tongkat sebagai senjata sampai sekarang,” tutur Badra.
Kurator Festival Hujan Bentara Budaya Bali, Putu Wirata Dwikora, mengatakan,
Barangkali realitas geografis inilah yang menyebabkan musim di Seraya
Menurut Wirata, ciri mistis- irasional itu menjadi ciri khas masyarakat pegunungan, terutama desa-desa tua di Bali. ”Karena masyarakat dataran sudah memiliki sistem kalender dengan rumusan perhitungan musim yang rumit,” ungkapnya.
Kendati rumusan-rumusan tersebut pada akhirnya senantiasa dibarengi dengan gelaran ritual, Bali telah mewarisi sistem kalender yang memadukan sistem lunar dan solar.
”Jelas sekali bahwa rumusan- rumusan ini hasil pengamatan empiris berabad-abad terhadap fenomena alam. Lalu, para intelektual di masa lalu menuliskannya dalam rumusan
Gede Sutarya yang mewarisi sistem penyusunan kalender dari ayahnya mengungkapkan, penyusunan kalender Bali pada awalnya memang diarahkan untuk menentukan gelaran-gelaran upacara. ”Tetapi, sejak awal pula sudah berisikan hari-hari baik untuk melaksanakan penanaman padi dan palawija. Bahkan, sudah diisi pula dengan kapan membuat pancing bagi para nelayan, misalnya,” katanya.
Bukti itu menunjukkan bahwa rumusan dalam penyusunan kalender itu selalu mengacu pada ketepatan musim. ”Di Bali sudah beberapa kali terjadi perumusan ulang untuk menyesuaikan dengan musim kendati baru sebatas rumusan untuk ketepatan pelaksanaan upacara,” ujar Sutarya.
Jika warga Seraya tetap menggelar pertarungan dua lelaki untuk
”Karena itulah, kami memilih menanam dan makan jagung, yang tak butuh hujan besar sepanjang tahun,” kata Badra.
Itu juga sebuah pertarungan hidup untuk kemudian beradaptasi dengan watak musim.