SURABAYA, KOMPAS.com - Penentuan ulang waktu shalat Subuh di Indonesia sebagaimana usulan PP Muhammadiyah perlu melibatkan sejumlah ormas Islam yang lain.
"Penentuan waktu shalat Subuh perlu melibatkan ormas Islam lainnya," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, K.H. Abdusshomad Buchori, di Surabaya, Rabu (7/4/2010).
Bahkan kalau perlu, dibahas dalam kongres nasional sehingga penetapan waktu subuh dapat diterima oleh seluruh umat Islam di Indonesia.
Sebelum dibahas dalam kongres, penetapan waktu shalat Subuh perlu penelitian oleh para ahli ilmu perbintangan (falak) dari berbagai aliran.
Namun, yang memiliki peran penting dalam melakukan kajian itu adalah Kementerian Agama (Kemenag).
Sebelumnya Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan, waktu subuh di Indonesia terlalu pagi dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama yang berada di kawasan Timur Tengah.
Muhammadiyah berkesimpulan, subuh di Indonesia ditetapkan pada saat matahari berada pada posisi 20 derajat di bawah ufuk, sedangkan di negara-negara lain berkisar antara 16 hingga 18 derajat di bawah ufuk.
Hal ini yang mengakibatkan waktu subuh di Indonesia kepagian, meskipun mempertimbangkan keluarnya fajar sodik dan fajar kazib yang merupakan pertanda pergantian hari.
Walau begitu, MUI tetap menyatakan salat subuh yang biasa dijalani umat Muslim di Indonesia tetap sah karena yang menentukan sah dan tidaknya ibadah salat adalah niat.
Sementara itu, Pimpinan Wilayah Muhamadiyah Jatim mendukung penetapan ulang waktu subuh di Indonesia.
"Memang harus ada penetapan ulang melalui kajian ilmu falak," kata Ketua PW Muhammadiyah Jatim, Syafiq Mughni.
Editor: bnj | Sumber : ANT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar