Tempat Sampah Raksasa
Posted by Titania Febrianti on December 15, 2009
Pernahkah Anda berkunjung ke Kebun Raya Bogor? Kunjunganku ke tempat ini sudah tak terhitung lagi sejak menjalankan penugasan dibantu para peneliti LIPI di sana, seperti saat membuat artikel tentang kisah anggrekCymbidium hartinahianum dalam artikel Anggrek Ilalang Kehilangan Padang edisi September 2009 atau kisah sebutir biji rafflesia yang akan terbit pada edisi Januari 2010.
Setiap kali melewati gerbang kebun raya, mata yang biasanya dijejali oleh riuhnya jalan raya, kepulan asap knalpot, juga rapatnya gedung pencakar langit disuguhi pemandangan menyegarkan : Pepohonan menjulang tinggi dengan tekstur kulit kayu beraneka, belum lagi satwa yang hidup di atasnya. Banyak pohon punya beragam cerita seperti yang dikisahkan para peneliti Kebun Raya: Pohon yang memiliki penyangga di salah satu dahannya, pohon yang rusak kala helikopter berlatih mendarat saat George Bush hendak berkunjung, pohon yang menumbangi rumah kaca, pohon yang datang dari pulau lain di Indonesia, juga pohon unik yang berasal dari belahan lain di dunia.
Di sana, aku selalu menyusur lapangan rumput yang luas terhampar, dengan beberapa balok kayu tergeletak di salah satu sisinya, sisa pohon tumbang. Kadang hamparan rumput hijau itu membentang sepi disela embusan angin. Kadang beberapa kelompok anak muda dengan berbagai atribut aneh berbaris sambil menyimak seniornya berbicara—mungkin sedang diplonco. Kadang sekelompok ibu-ibu berkerudung bersenda gurau di dekat pohon tumbang di atas sejumlah gelaran tikar—mungkin sedang menyelenggarakan arisan. Semua itu hanya selayang pandang sebelum aku sampai di laboratorium kultur jaringan, tempatku biasa berbincang dengan para peneliti.
Beberapa kali aku datang pada hari Jumat. Pada hari yang sama pula aku melihat banyak orang mondar-mandir mengenakan seragam olahraga. Mereka pegawai kebun raya, dugaku. Kadang mereka bekerja berkelompok di beberapa titik di Kebun Raya. Ada kalanya di sekitar pintu gerbang samping. Saat kutanyakan hal ini pada Sofi Mursidawati, peneliti anggrek serta raflesia, bayangan kebun raya yang cantik pun lenyap dalam benakku.
Kebun Raya Bogor yang sunyi dan Pasar Bogor yang hiruk pikuk hanya terpisah oleh sebuah tembok tinggi. Sedihnya, para pedagang seringkali sengaja melempar sampah yang mereka hasilkan hingga akhirnya mendarat di area kebun raya. Para pegawai kebun raya pun harus rela bekerja bakti membersihkan sampah-sampah dengan bau menusuk hidung itu.
“Saya juga tidak tahu bagaimana manajemen limbah industri di sekeliling kebun raya ini,” keluh Sofi. Dulu, kolam di kebun raya dihuni beragam spesies, memenuhi air yang jernih. Beberapa tahun terakhir, warna air berubah menjadi kehitaman. “Kadang baunya menyengat,” ujar Sofi. Binatang pun enggan mendekati kolam. Limbah industri masuk ke dalam, menampakkan minyak di atas air.
Belum lagi jika siswa taman kanak-kanak se-Bogor melakukan kegiatan di kebun raya diiringi orang tua masing-masing. Pada akhir acara kebun raya pun akan berubah menjadi tempat sampah raksasa. “Sulit menyadarkan mereka,” aku Sofi. Mengapa tak beri mereka kantung sampah agar sisa makanan bisa disimpan dan dibuang di tempat sampah? “Kantung pernah kita bagikan, tapi malah kantungnya sendiri yang jadi sampah,” jelas Sofi. “Pernah saya tegur para orang tua, agar anak-anaknya diajarkan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Mau tahu jawaban mereka?” tanya Sofi. Saya mengangguk penasaran dan Sofi pun melanjutan, “Kata mereka: Yah, bu, namanya juga anak-anak….” dan pegawai kebersihan kebun raya pun harus kembali bekerja keras agar kawasan ini tampak apik kembali.
http://notasijelajah.blog.nationalgeographic.co.id/2009/12/15/tempat-sampah-raksasa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar